KAMPUS: Membuat mimpi semakin nyata
Oleh: Deni Setiadi
Saya lahir pada tanggal 3 oktober 1991, putra ke dua dari 4
bersaudara yang berasal dari sebuah perkampungan kecil di perbatasan
Serang-Pandeglang. Ada dua kemungkinan wilayah perbatasan, mereka mendapatkan
akses dari setiap daerah yang berbatasan atau terjebak diantara dua daerah.
Saya sendiri tinggal pada daerah yang terjebak diantara perbatasan. Cukup sulit
akses transportasi umum, hanya sekali angkutan pedesaan melintas, itu pun penuh
oleh pedagang yang hendak belanja untuk dijual di kampung masing-masing.
Alhasil setiap pagi harus rela bergelantung hingga tiba disekolah SMA. Saya
sangat bersyukur meski harus bergelantungan, toh ketika SD dan SMP selalu jalan
kaki, bahkan butuh waktu hingga 45 menit untuk tiba di sekolah SMP. Itu pun harus jalan dengan cepat, karena
kalau sampai bersantai-santai tentu harus rela memandang terik mentari yang
begitu sehat disetiap paginya. Tepat ditengah lapangan upacara sembari
memberikan hormat dan senyuman kepada bendera Indonesia. Ahhh begitu nasionalismenya saya pada saat
itu.
Saya akan memperkenalkan tempat penjelajahan ilmu yang telah banyak
merubah kearah lebih baik. Saya pertama kali mengenal sekolah di SDN Sukajaya
1, tidak ada Taman Kanak-kanak di tahun 1997. Kemudian tahun 2003
melanjutkan sekolah di SMPN 1 Cadasari, semakin jauh jarak yang harus ditempuh
dengan berjalan tentunya. Motor masih menjadi barang mewah, Namun lelah yang dirasakan hilang bersamaan
dengan kebersamaan bersama kawan-kawan menapaki setiap jalan secara
berbarengan. Saya sendiri sering rindu mengingat kejadian itu, moment langka
terjadi untuk jaman sekarang. Selama tiga tahun kami merangkai kata disetiap
jalanan hingga kata LULUS memisahkan kami untuk beberapa saat. Saya melanjutkan
ke SMAN 1 Pandeglang dengan harapan besar. Sebuah mimpi yang sudah terukir sejak SMP dalam tulisan kaligrafi bertuliskan
“Deni Setiadi, M.Sc”. meski pada saat itu saya belum tahu definisi gelar
tersebut. Tapi saya begitu yakin bahwa SMA tersebut akan menunjukkan jalan
untuk menggapai cita-citan dan harapan. Lulus SMA saya melanjutkan ke
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) pada Program Study Pendidikan
Matematika. Sesuatu hal yang tidak saya inginkan sebelumnya.
Saya tidak mau kuliah di Untirta, karena tempatnya yang cukup dekat.
Selain itu, teman-teman sekelas semuanya mendaftarkan diri ke kampus-kampus di
luar Banten. Tentu saja saya pun ingin kuliah pada kampus yang sudah sangat
terkenal dan yang terpenting di luar Banten. Desakkan ibu mengharuskan saya
mendaftarkan diri ke Untirta lewat jalur PMDK tidak. Meski pada saat itu saya
ingin mendaftar lewat jalur PMDK juga di UPI Bandung. Melihat peluang serta
kompetensi yang saya miliki akhirnya mengikuti anjuran Ibu. Alhamdulillan
diterima di Untirta sesuai dengan jurusan yang saya tulisakan pada lembar
formulir. Sebuah kebanggan bagi keluarga, namun saya masih belum terlalu
bahagia karena keinginan kuat kuliah di luar Banten yang terlihat memberikan
tantangan berbeda. Saya mencoba ikut seleksi Simak UI dan tes masuk STAN,
hasilnya belum diterima. Pada awal masuk
Untirta saya tidak terlalu menikmatinya. Namun selang beberapa minggu merubah
semua perasaan saya tentang Untirta. Saya begitu jatuh cinta dengan kata
UNTIRTA.
Saya berada pada kelas yang cukup membuat minder, maklumlah semua
mahasiswa PMDK di Matematika numpuk dalam satu kelas. Sisanya adalah peserta
SNMPTN dengan nilai tertinggi di jurusan matematika. Apalagi melihat beberapa
kawan sekelas yang membawa sertifikat bertuliskan “Siswa Terbaik di SMA. . . .
.” membuat minder saya masuk ke level tertinggi. Namu
itu tidak berlangsung lama, saya bisa beradaftasi dengan mereka begitu
juga sebaliknya. Mereka sangat ramah dan begitu baik membuat saya sangat betah
berlama-lama di kelas.
Pada saat semester 2 ada pengumuman beasiswa Perusahaan Gas Negara
(PGN), saya mendaftarkan diri penuh keyakinan akan diterima. Tentu saja hal itu
dibarengi dengan proses mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui Sholat
Duha dan Qiyanul Lail. Pengumuman tiba, saya mengucap syukur menjadi bagian
penerima beasiswa tersebut. Salah satu modal terbesar saya adalah Indeks
Prestasi (IP) di semester 1 mencapai
3,5. Ini perlu menjadi perhatian buat mahasiswa semester 1 untuk memaksimalkan
diri meraih IP tinggi. Bukan berarti harus berorientasi pada nilai, melainkan
semester satu kebanyakan mata kuliah pengulangan ketika SMA, masih sangat
dasar. Seharusnya bisa memperoleh IP
tinggi. Usahakan untuk tidak terlalu terlena karena menikmati status sebagai
mahasiswa. Sehingga saya selalu mengatakan bahwa semester 1 adalah modal
terbesar sebelum menjajaki 7 semester selanjutnya.
IP cukup serta mendapatkan beasiswa menjadikan saya percaya diri
mengikuti beberapa organisasi. Diantaranya LDK Baabussalam, KAMMI Komisariat
Untirta, HIMATIKA, BEM FKIP, TRAS, KAMMI Banten, Kumandang. Bahkan ikut
terlibat dalam kepengurusan Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Seluruh Indonesia (IMAKIPSI Jawa 1) sebagaia kepala departemen Infokom hingga
tahun 2013. Selain itu, saya menjadi konselor muda dan terlibat disebuah organisasi social
tingkat wilayah yaitu GEMPITA (Generasi Muda Pembina Insan Berprestasi). Focus
organisasi ini pada penanganan kasus pornografi, pornoaksi, narkoba, dll. Pengalaman
organisasi menghantarkan saya dapat menjelajahi beberapa tempat dibelahan
Indonesia yang berbeda. Seperti jawa, sumatera maupun Sulawesi dan Nusa
tenggara.
Proses perkuliahan saya selama beberapa semester tidak jauh berbeda
dengan teman-teman yang lain. Belajar, diskusi, mengerjakan tugas, ujian, bercanda
gurau. Namun ketika semester 6 merupakan sebuah momentum perubahan luar biasa
pada diri. Saya menemuka sebuah harta yang tidak terhingga. Yaitu sebuah rasa
suka terhadap sastra. Ini bermula karena sebuah kompetisi Pekan Seni Mahasiswa
Nasional (PEKSIMINAS XI). Ketika keluar
kelas sehabis kuliah, saya melihat
pengumuman bertuliskan “PEKSIMINAS XI Goes to NTB”. Saya adalah orang
yang sangat mencintai sebuah kata “jalan-jalan” apalagi bisa gratis. Dalam
pengumuman dituliskan beberapa tangkai lomba yang harus diikuti. Diantaranya:
monolog, cipta dan baca puisi, tari, vocal group, menyanyi solo, cerpen, dll.
Saya sangat tahu diri pada saat itu, hanya ada dua kemungkinan lomba yang bisa
diikuti meski belum berpengalaman dikeduanya. Yaitu cipta puisi dan cerpen.
Saya berfikir bahwa membuat cerpen lebih sulit dari pada puisi karena jumlah
kata yang disusun jauh lebih banyak.
Sehingga ada peluang besar bisa juara disitu, mengingat peserta pasti tidak
banyak disbanding puisi. Walaupun saya tidak terlalu berharap bisa menjuarai
lomba tersebut apalagi ketika melihat peserta lain yang berasal dari beberapa
jurusan termasuk jurusan diksatrasia. Saya yakin bahwa mereka sudah sangat
faham dengan ilmu cerpen. Sedang saya baru akan memulai membuat cerpen pertama
ketika lomba seleksi PEKSIMINAS XI tingkat kampus.
Pengumuman tiba, saya sendiri tidak bisa hadir. Beberapa kawan
mengirim sms kalau saya juara 1 lomba cipta cerpen tingkat kampus. Sebuah
kebanggan tersendiri karena cerpen pertama saya langsung mendapatkan reward juara 1. Memperbesar peluang saya
bisa ke NTB. Ternyata saya harus
mengikuti seleksi kembali tingkat provinsi agar bisa berangkat kesana.
Alhamdulillah tepat di hari seleksi tidak ada peserta dari kampus se-banten yang
mendaftar ikut lomba cipta cerpen. Kebetulan pada waktu yang bersamaan, saya tidak
bisa ikut seleksi cipta cerpen tingkat provinsi karena harus monitoring
evaluasi (monev) di kampus UNJ Jakarta. Ini terkait Proposal Program
Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang pengabdian pada masyarakat. Saya dan kawan
satu kelompok mendapatkan dana hibah dari Dikti untuk menjalankan program
sesuai isi proposal.
Seharusnya saya otomatis menjadi wakil Banten untuk bernagkat ke
NTB, namun tidak ada kepastian hingga menjelang H-5 pemberangkatan. Pada posisi
tersebut saya memperoleh pengumuman kalau lolos KKN Nasional di Bengkulu
setelah mengikuti rangkaian seleksi dikampus. Saya sempat bingung memilih KKN
Nasional di Bengkulu atau lomba cipta cerpen di NTB. Kebetulan waktunya
berbarengan. Hati saya lebih memilih mengikuti lomba cipta cerpen karena secara
langsung dapat mengharumkan nama provinsi dan kampus. Namun tidak ada
kepastiannya membuat saya ragu. Bahkan isu yang berkembang saya dan beberapa
kawan lain tidak jadi diberangkatkan ke NTB.
Ketika tekad serta keyakinan kuat dan dilengkapi dengan sebuah do’a.
saya yakin bahwa Allah akan memberikan jalan terbaik untuk hamba-Nya. Beberapa
hari sebelum acara pelaksanaan lomba di NTB, saya dihubungi untuk mengikuti
rapat di rektorat. Ternyata pengumuman pemberangkatan untuk PEKSIMINAS XI.
Langsung saja saya mengundurkan diri utnuk tidak mengikuti KKN Nasional.
“Welcome Lombok” dua kata yang begitu ajaib terpampang jelas di
Bandara Internasional Lombok. Saya sudah tidak sabar untuk menjelajahi daerah
tersebut. Hingga sempat terlupakan bahwa saya kesana membawa tugas khusus untuk
mengikuti lomba CIpta Cerpen. Sehari sebelum pembukaan PEKSIMINAS XI digelar,
saya menejlajahi Lombok sendiri, sengaja tidak mau mengajak kawan satu provinsi
ataupun panitia pendamping. Modal nekat dan berani membuat saya bisa sampai
dengan selamat ke beberapa tempat wisata disana. Masyarakatnya sangat ramah,
hingga saya pun tidak segan untuk berinteraksi dengan mereka. Mulai dari
memperkenalkan diri, menanyakan tempat wisata hingga bertanya cara agar sampai
ke tempat wisata itu dengan menggunakan kendaraan umum. Pantai Senggigi, Batu
Layar, Batu Bolong dan beberapa tempat lain bisa saya kunjungi sendiri.
Tiba waktunya perlombaan dimulai, tema cerpen sudah ditentukan ketika
technical meeting. Sekitar 28 provinsi ambil bagian dalam perlombaan cerpen
ini. saya bersaing dengan mahasiswa yang kebanyakan berasal dari sastra. Adapun
dari jurusan non sastra, namun mereka sudah membuat banyak tulisan hingga
pernah dibukukan. Sedangkan saya, hanyaketika technical meeting. Sekitar 28
provinsi ambil bagian dalam perlombaan cerpen ini. saya bersaing dengan
mahasiswa yang kebanyakan berasal dari sastra. Adapun dari jurusan non sastra,
namun mereka sudah membuat banyak tulisan hingga pernah dibukukan. Sedangkan saya,
masih sangat awam dengan dunia cerpen.
Akan tetapi, tekad kuat dan percaya diri yang tinggi membuat saya mampu
melewati lomba tersebut dengan baik. Hingga tiba pengumuman dan saya meraih
juara 1 Lomba Penulisan Cerpen tingkat Nasional pada PEKSIMINAS XI di NTB.
Meskipun tidak mendengar pengumuman secara langsung karena pada saat itu
beberapa kontingen Banten sudah ada di Bali. Termasuk saya.
Senang, haru, bahagia semua bercampur menjadi satu, saya sedikit
menorehkan prestasi untuk Untirta dan Banten. Apresiasi pun berdatangan dari
beberapa dosen terutama Pak Firman Venayaksa yang sudah membimbing sampai
mendapatkan juara tersebut. Selanjutnya
ucapan selamat dari Rektor, Wakil Rektor, Wakil Dekan, dosen serta beberapa
civitas akademika lain disampaikan penuh bangga. Ini menjadi titk puncak
motivasi untuk melanjutkan berkarya di bidang sastra. Hingga tulisan ini dibuat
sudah beberapa cerpen yang terangkai dari beberapa kata-kata. Ada cerpen yang
berhasil masuk dalam antologi cerpen nasional, terbit di media massa dan
online, serta masuk menjadi finalis cerpen nasional untuk kompetisi yang
berbeda.
Pada akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa jurusan kuliah
yang kita ambil tidak cukup mempengaruhi hidup kita, melainkan kesungguhan
dalam meraih mimpi untuk sebuah tujuan. Namun tidak berarti harus meninggalkan
perkuliahan ketika sudah menemukan jalan hidup, karena kuliah adalah bagian
dari modal masa depan kita. Selalu percaya bahwa Allah tidak pernah diam ketika
hamba-Nya meminta penuh kesungguhan, bahkan ketika kita tidak meminta pun Allah
selalu memberikan jalan dan harapan. Keyakinan saya semakin bertambah ketika
belum lama bisa menapakkan kaki di bumi Palu, Sulawesi tengah sebagai Delegasi
Banten mengikuti Jambore Pemuda Indanesia dan ASEAN. Tidak pernah terpikirkan
sebelumnya bisa kesana dan bertemu kawan-kawan se-Indonesia dan ASEAN. Semoga
kedepannya bisa menjelajahi bumi Indonesia yang lainnya. Semakin Cinta kepada
Allah, Indonesia dan Untirta.